Pagi ini kumulai dengan mengayuh sepeda. Seperti biasa, pukul empat pagi. Disaat orang-orang sedang nyaman tidur dia atas futon, aku terbiasa mengayuh sepedaku mengantarkan koran di setiap blok kompleks perumahan dan mansion. Aku jadi teringat ibu yang selalu menyuruhku bangun pagi sewaktu kecil. Kata beliau, orang yang selalu bangun setelah matahari terbit rezekinya akan dipatok ayam. Sepertinya nasehat ibu baru dapat aku mengerti sekarang. Hanya dengan mengantarkan koran, aku bisa mendapat gaji tiga kali gaji pegawai negeri di Indonesia tiap bulannya. Tapi, gaji itu masih tergolong kecil di Jepang karena biaya hidup disini juga besar.
Setelah selesai mengantar koran, aku shalat subuh di salah satu masjid di dekat sini. Hari sudah mulai terang karena di saat musim semi, waktu malam lebih pendek daripada siang hari. Aku kembali ke mansion untuk mandi dan berganti pakaian. Aku harus benar-benar ngebut untuk kembali karena hari ini aku ada kuliah pagi dan tidak boleh terlambat atau aku tidak akan diperbolehkan masuk.
Setelah siap aku segera berangkat menuju stasiun. Sebenarnya masih dua jam lagi kuliahku akan di mulai, tapi aku ingin bersantai sedikit dan lewat jalan memutar melewati sungai menuju stasiun. Sekali-kali aku ingin melewati jalan itu. Sungai itu mengingatkanku pada sungai yang ada di kampung halamanku. Setelah beberapa lama akhirnya sampai. Sungai itu masih bersih dan disekitarnya terdapat beberapa pohon besar. Tidak ada orang disana kecuali seorang anak kecil yang baru saja naik dari sungai menuju jalan raya. Di tangannya menggenggam setangkai bunga yang sangat cantik, agaknya dia memungutnya dari sungai yang memang dangkal itu. Anak yang hebat, bukankah sungai di musim semi ini masih cukup dingin karena musim dingin baru saja berlalu. Aku akan berpikir dua kali untuk melakukannya.
Tiba-tiba, ada sebuah mobil melintas dengan kecepatan sedang. Aku tidak sempat melakukan apa-apa bahkan untuk berteriak, anak itu sudah terserempet dan jatuh ke rerumputan. Aku menahan napas sekian detik kemudian tersadar dan berlari menuju anak itu. Sedangkan mobil yang menyerempetnys telah lari ketakutan. Aku tidak berani menggerakkan tubuh anak itu. Kalau ada bagian tubuhnya yang patah, bisa membuat semuanya menjadi lebih buruk.
Akhirnya aku memutuskan untuk meminta bantuan kepada pengendara mobil lain yang lewat dan mau mengantarkan anak itu ke klinik terdekat. Aku juga ikut dan tentu saja harus mengabaikan kuliahku. Pakaianku sudah penuh dengan darah dan menolong orang lain tidak boleh setengah-setengah. Sekarang disinilah aku berada, ruang tunggu klinik, sendiri dan hanya bisa berdoa. Aku tidak tahu harus menghubungi keluarga anak itu dengan apa.
Alhamdulillah, ternyata anak itu baik-baik saja. Paling tidak kepalanya tidak bermasalah dan kaki tangannya akan dapat berfungsi seperti biasa dalam jangka waktu satu bulan. Karena tidak tahu siapa keluarga itu, akhirnya aku harus merelakan sebagian gajiku untuk membayar biaya klinik. Sekarang juga anak itu boleh langsung pulang dengan beberapa perban di tangan dan kakinya beserta tongkat penyangga kecil. Aku berbaik hati mengantarkan dia pulang karena sepertinya dia akan kesulitan menemukan jalan pulang sendirian.
“Adik kecil, namanya siapa? Umurnya berapa?” aku bertanya di perjalanan kami pulang.
“Shimura Hideo. Tujuh tahun.” Dia menjawab pertanyaanku dan kelihatan bingung mencari sesuatu, “Bunganya mana?”
Oh, ternyata dia sedang mencari bunga yang diambilnya dari sungai tadi pagi. Aku menyodorkan bunga itu kepadanya dan berkata, “Ini bunganya. Kakak yang simpan. Tapi karena terlempar tadi, jadi agak rusak. Maaf, ya!”
“Yah, bunganya rusak. Bagaimana bisa diberikan pada Ibu?” anak itu kelihatan sangat sedih dan mulai menangis karena bunga yang ia ambil dengan susah payah rusak, namun sama sekali tidak menyesali kondisinya yang sekarang. Kecelakaan yang ia alami dan luka-luka yang ia dapat seakan tidak berarti apa-apa dibandingkan bunga itu.
“Memangnya Ibu Adik Ulang Tahun hari ini?”
Dia melihatku dan menjawab sambil sesenggukan, “Ibu tidak ulang tahun hari ini. Hari ini kan tanggal 12 Mei, Hari Ibu. Tidak mungkin kakak tidak tahu. Aku ingin memberikan bunga ini untuk ibu. Tanda terima kasih karena telah menjaga dan merawatku selama ini.”
“Kenapa tidak beli bunga di toko saja, Dik? Nanti kakak yang belikan,” aku mulai simpati pada anak ini. Sepertinya ia tidak punya uang yang cukup.
“Terima kasih, tidak perlu, kak. Kata Ibu, laki-laki harus bisa berjuang sendiri dalam hidup ini semampunya. Kakak bisa mengantarkan aku ke sungai itu lagi?”
Mataku mulai berkaca-kaca menjawab pertanyaannya, “Tentu saja. Tapi ada syaratnya. Izinkan kakak untuk membantu mengambilkan bunga itu. Karena kakak tidak akan mengizinkan Hideo-kun masuk ke sungai dengan kaki seperti itu. Bagaimana?”
Anak itu mengangguk mantap. Raut wajahnya yang serius sekali terlihat agak lucu. Tapi, aku yakin ia telah dibesarkan oleh seorang ibu yang sangat hebat. Seorang ibu yang tak kenal lelah berjuang demi anak-anaknya walau harus dibayar dengan taruhan nyawa. Itulah sosok ibu yang sempurna di mata anak-anaknya.
Kami menyusuri sepanjang tepian sungai mencari bunga yang namanya saja kami tidak tahu. Mungkin agak susah untuk mencarinya, tapi aku sudah berjanji kepada Hideo dan diriku sendiri untuk menemukannya. Angin musim panas yang hangat mulai tercium, sehangat cinta kasih seorang ibu. Aku jadi rindu pada negaraku tercinta, Indonesia dan lebih banyak rindu dan cinta untuk ibu.
No Comments
Hadiah Kecil untuk Ibu yang Tak Kenal Lelah
.

