Walaupun jelek, silakan dibaca...
Seperti biasa, pagi yang sama. Cukup cerah Walau aku hanya mendapati tembok-tembok di balik jendela kamarku. Tak seperti dulu, saat itu aku masih sangat kecil. Masih belum tahu apa-apa tentang hidup. Saat masih banyak pohon-pohon yang sekarang tergantikan dengan tiang-tiang besi, tanah dengan semen yang menutupinya dan pagar kayu yang selalu kupanjat saat kabur dari kejaran ibu tidak ada lagi. Semua sudah berubah. Hanya satu yang tidak berubah, suasana Ramadhan disini. Seperti dulu, tak berubah.
***
“Iffaaaah! Sebentar lagi maghrib! Ayo pulang!” teriakan ibu terdengar. Aku belum puas bermain dengan teman-temanku. Namun, aku harus menyelesaikannya sampai disini saja. Kalau tidak, ibu akan datang dan akan menyeretku pulang. Ditambah lagi, aku akan diberi hukuman.
Malam harinya, ibu sibuk membuat adonan kue. Biasanya ibu akan menjualnya pagi-pagi sekali, menitip di warung dekat rumah. Namun, karena bulan puasa Ibu hanya menjualnya ketika hampir tiba waktu berbuka puasa. Ayah sudah tidur, kelelahan karena seharian ini bekerja membuat rumah Pak Tohir. Sedangkan aku masih menghitung hasil kemenanganku bermain kelereng tadi siang, sambil menikmati jambu air hasil memanjat pohon milik Bu Siti.
“Iffah, PR-mu sudah selesai?” tiba-tiba ibu bertanya kepadaku. Aku terdiam sejenak. Aku sama sekali lupa ada PR.
“Belum, Bu,” jawabku jujur.
“Kalau begitu, cepat selesaikan.”
“Sudah jam sembilan, Bu. Iffah sudah ngantuk,” aku mencoba mencari alasan.
“Tidak apa-apa. Ibu akan temani. Kamu juga biasanya tidur sampai jam sepuluh. Ayo, tidak usah banyak alasan,” tatapan ibu membuatku beranjak ke kamar, mengambil tas dan mulai mengerjakan PR sambil terkantuk-kantuk.
“Assalamu’alaikum...!”
“Wa’alaikumsalam...!” jawab Ibu. Itu Bang Faris baru pulang kuliah. Aku menjawab sekenanya karena rasa kantuk yang begitu kuat. Namun, rasa kantuk itu hilang ketika melihat bungkusan yang dibawa bang Faris.
“Nih, untuk Ibu dan Ayah,” kata Bang Faris.
“Untuk Iffah mana?” tanyaku sedikit kecewa.
“Punya Iffah tidak ada kalo Iffah belum selesai ngerjain PR. Masa’ anak SD udah males buat PR,” Bang Faris tersenyum, “Tadi, Iffah puasa atau nggak?”
“Iffah puasa kok, Bang. Tapi, cuma sampe jam dua siang,” aku mencoba meyakinkan Bang Faris, “Habisnya, tadi Gagah nawarin Iffah makan di rumahnya dan Iffah udah laper sekali.”
“Ya, sudah. Kalo gitu dicoba lagi besok. Harus sampe maghrib, lho. Kan, Iffah udah kelas empat. Gimana?” tanya Bang Faris, Aku mengangguk malu.
“Kuenya abang letakkan di meja, ya. Makannya nanti aja kalo udah selesai PR-nya. Oke?”
“Oke!” kemudian aku berusaha untuk menyelesaikan PR-ku secepat aku bisa.
“Ini, hadiah buat Iffah,” Bang Faris menyodorkan kado kecil kepadaku selepas kami berbuka puasa bersama. Kado itu cantik sekali. Dibungkus dengan kertas warna-warni.
“Ini buat Iffah, Bang?” walaupun sedikit ragu, kuulurkan juga tanganku meraih kado itu.
“Iya. Karena Iffah udah berhasil puasa sampai beduk maghrib.”
“Bang Faris nggak kuliah?”
“Hari ini, nggak.”
“Jadi, Bang Faris Cuma kerja aja, ya hari ini. Berarti bisa Tarawih sama-sama, dong?” sudah lama tidak berjalan bersama Bang Faris menunju Masjid.
“Iya, tentu aja,” Bang Faris beranjak dari kursinya, ”Tapi, sebelum itu, Iffah bantu Ibu dulu mencuci piring. Abang mau bantu Ayah memasang lampu neon di depan rumah. Kalo udah selesai baru kita Tarawih sama-sama.
“Iya, Bang,” aku menaruh hadiah dari Bang Faris baik-baik di kamar, kemudian membantu ibu kemas-kemas di dapur.
Wilayah gang kami sudah dipenuhi oleh lampu neon di sepanjang jalan. Ini memang tradisi yang sering dilakukan pada saat Bulan Ramadhan. Aku berjalan sepanjang gang digandeng Bang Faris menuju Masjid di seberang gang. Aku berjingkrak-jingkrak kegirangan membayangkan hadiah apa yang diberikan oleh Bang Faris. Aku akan membukanya setelah pulang Tarawih nanti.
Beberapa teman sebayaku bermain petasan mengganggu setiap orang yang lewat. Bang Faris menasehati mereka agar tidak melakukan hal itu. Aku sama sekali tidak pernah melihat Bang Faris marah. Mereka kemudian berhenti bermain. Kami sudah sampai di muka gang, bersiap untuk menyeberang. Lalu lintas hari ini sangat ramai. Mungkin karena sekarang malam minggu. Bang Faris dengan sigap memegang tanganku, berjaga-jaga agar aku mengikutinya menyeberang.
Setelah sampai di seberang, ada yang memanggilku dari arah seberang. Itu Gagah. Sepertinya dia juga mau menyeberang dan ikut Tarawih. Namun, dia tidak melihat dengan baik jalan raya dan langsung menyebrang. Bang Faris berteriak mencegah agar Gagah tidak menyebrang dulu. Namun, Gagah sepertinya tidak mendengarnya. Dari arah kiri jalan, ada sebuah motor yang melaju dengan kecepatan cukup tinggi menuju Gagah. Seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang diboncengnya, seumuran Bang Faris, berada di atas motor itu. Mereka tidak melihat Gagah yang menyeberang.
Bang Faris melepaskan genggaman tangannya dariku, menerobos ke depan menghindari kendaraan-kendaraan yang begitu ramai menuju Gagah. Bang Faris berhasil mendorong Gagah menghindari motor itu. Namun, dari arah yang berlawanan ada mobil yang juga melaju. Bang Faris tidak melihatnya. Aku ingin berteriak, tetapi suaraku tidak bisa keluar. Tercekat di tenggorokan. Dalam hitungan detik - aku tidak ingat persis bagaimana kejadiannya - Bang Faris terlempar. Aku hanya bisa terdiam.
***
“Iffaaaah! Bisa bantu Ibu, tidak?” teriakan Ibu seperti biasa memanggil namaku. Namun, suara yang begitu lantang dahulu, sekarang sudah berubah menjadi agak lemah. Usia membuat perubahan pada Ibu, walau bagiku Ibu tetap sama seperti ibuku yang dulu.
“Iya, bu. Iffah segera kesana,” kupakai kerudungku sekenanya, kemudian keluar dari kamar. Kudapati Ibu sedang mengocok mentega dengan gula di dapur. Ayah sepertinya sudah pergi bekerja. Mulai kemarin, Ayah bekerja merenovasi rumah Gagah. Sudah lama juga aku tidak bertemu dengan Gagah. Kabarnya dia sekarang kuliah di Fakultas Kedokteran.
“Tolong pecahakan beberapa telur dan timbang tepung terigu yang ada disana.Takarannya ada di buku resep Ibu.”
“Baik, Bu.”
“Sebentar lagi buka puasa. Tolong antarkan kue ini ke rumah Tante Yeni,” Ibu menyodorkan sepiring kue hasil buatan kami tadi.
“Baik, Bu,” aku keluar menuju rumah Tante Yeni, rumah Gagah juga. Tante Yeni itu Ibunya Gagah.
Aku mengetuk pintu kemudian masuk ke dalam. Aku melihat Ayah sudah siap-siap pulang ke rumah.
“Iffah, ini buat Ayah?” tanya Ayah.
“Bukan, Yah. Ini buat Tante Yeni. Bagian Ayah ada di rumah,” aku tersenyum melihat Ayah. Sepertinya Ayah capek sekali. Tapi, masih bisa bercanda.
“Iya, ya. Ayah tahu. Kalo gitu Ayah pulang dulu. Udah mau buka puasa. Kamu juga cepat pulang,” Ayah beranjak berpamitan pada Tante Yeni.
“Eh, ada Iffah,” Tante Yeni menyadari kehadiranku. Aku tersenyum.
“Iya, Tante. Ini ada sedikit kue dari Ibu,” aku menyerahkan piring kepada Tante Yeni.
“Wah, repot-repot segala. Ini pasti Iffah yang buat, ya?”
“Nggak juga, Tante. Iffah cuma bantu Ibu.”
“Udah lama banget ya, Fah. Udah lama rasanya kamu udah nggak sering main kesini lagi. Kabarnya kamu kuliah di Jakarta, ya?”
“Iya, Tante. Alhamdulillah Iffah lulus ikatan dinas. Jadi, bulan Ramadhan gini baru bisa pulang.”
“Oh, gitu ya. Eh, udah hampir buka puasa. Kamu buka puasa di sini aja. Gagah katanya buka puasa di kampusnya. Om juga ada buka puasa di kantornya. Jadi, Tante sendirian di rumah.”
“Sebenarnya Iffah mau, Tante. Tapi, Ibu sudah menungggu Iffah di rumah. Lain kali aja ya, Tante. Iffah janji.”
“Oh, baiklah kalo gitu.”
Pukul sembilan malam. Tadarusan setelah shalat witir baru saja selesai. Aku shalat di masjid depan gang, seperti biasa. Sedangkan Ibu menjaga rumah. Serombongan orang keluar bersama-sama dari masjid. Aku sudah siap menyebrang. Syukurlah kendaraan malam ini tidak terlalu ramai.
Aku berjalan memandangi lampu-lampu neon yang dipasang sepanjang gang. Semua mengingatkanku pada Bang Faris. Tiba-tiba ada suara motor mengklaksonku dari belakang. Aku berhenti dan menoleh.
“Assalamu’alalaikum...!” sapa pengendara motor itu.
“Wa’alaikumsalam...!” aku baru mengenali kalau orang itu adalah Gagah.
“Apa kabar?” Gagah membuka helmnya.
“Alhamdulillah, baik. Apa juga kabarnya Pak Dokter?” aku sedikit bercanda dengannya.
Gagah tersenyum, lalu menjawab, “Alhamdulillah, baik.
“Buka puasa di luar, ya?
“Iya, ada acara di kampus. Jadi sekalian buaka puasa.”
“Oh, begitu,” Aku memandangi anak-anak kecil yang bermain petasan. Ternyata dulu aku sekecil itu.
“Sebenarnya... Aku mau minta maaf.”
Aku menoleh, memandangi Gagah. Dia tertunduk.
“Minta maaf untuk apa? Sepertinya kamu sama sekali tidak ada salah padaku.”
Dia mendongak. Kelihatan sedang mengumpulkan keberaniaanya, “Aku mau minta maaf tentang Bang Faris. Kalo saja waktu itu aku tidak berlarian sembarangan, mungkin Bang Faris tidak akan meninggal. Aku tahu, kamu pasti sangat marah kepadaku...”
Aku tersenyum. Gagah sepertinya sudah sangat dewasa sekarang. Sudah sembilan tahun sejak kejadian itu. Rupanya dia masih sangat merasa bersalah atas kejadian itu.
“Kalo sampai sekarang aku masih marah, aku pasti tidak akan mau berbicara denganmu. Lagipula semua memang sudah takdirnya begitu. Umur Bsang Faris hanya sampai waktu itu.”
“Tapi, sampai sekarang aku tidak bisa memaafkan diriku. Apakah ada sesuatu yang bisa aku lakukan untuk menebusnya? Setidaknya untuk mengurangi rasa bersalahku.”
Aku berpikir sejenak, kemudian tersenyum kepadanya, ”Baiklah, kamu bisa menebusnya dengan satu cara.”
“Katakan saja, bagaimana caranya.”
“Jadilah dokter yang baik. Selamatkan sebanyak-banyaknya nyawa pasien. Dengan begitu Kamu juga secara tidak langsung memberikan kehidupan yang lebih baik kepada orang lain. Bagaimana?”
“Hanya itu?” Gagah terlihat ragu.
“Iya hanya itu saja. Jangan pernah merasa bersalah lagi. Karena semua itu sudah digariskan oleh Allah.”
“Baiklah. Aku janji.”
Malam ini sama seperti malam-malam disaat Bang Faris masih ada. Lampu neon di sepanjang jalan di gang dan anak-anak yang bermain petasan. Hal yang berbeda hanyalah Bang Faris tidak ada lagi disini, bersama kami.
Saat Ramadhan Tak Sama Lagi
.


GYAHAHAHAHA...
*balas dendam, mo ketawa*
ngape si iffah ikatan dinas?? jakarta?? ikut-ikutan sape ye???
hahahah...
buat lagi lah..
tapi tokohnye yg enam orang tuh..
Biar mrip ci
Hbs tk ad pkiran laen
Wkwkwk
Ci pun tk ad abg
Hehe
Utg nda angah msukin bdg kn?
Yg 6 org tu dblog laen yg tk trdteksi..