Malam ini, seperti biasa dia duduk di depan balkon kamarnya. Udara cukup dingin, namun dia hanya memakai baju kaos biasa dan celana selutut. Di tangannya ada segelas coklat panas kesukaannya. Matanya memandang ke atas. Mungkinkah ia melihat bintang? Atau mungkin bulan? Aku menengadahkan kepalanya mencoba mengintip langit, namun tak kudapati bulan dan bintang. Agaknya akan turun hujan karena udara sangat dingin. Aku kembali memperhatikan gadis itu. Dia bukan tipe orang yang tahan terhadap udara dingin dan juga nyamuk.
“Plak,” suara tepukan tangannya pada lengannya. Sepertinya dia tidak akan bertahan lama di balkon. Aku yakin sebentar lagi dia akan masuk ke dalam kamarnya lagi. Aku memperhatikan dia lagi. Dia terlihat agak kurusan. Apakah mungkin diet yang dia lakukan berhasil? Semoga saja. Pantas saja sudah lama dia tidak merecoki aku dengan program dietnya yang selalu saja gagal.
Sudah lebih dari setengah jam. Ternyata dia tahan juga berlama-lama berada di luar di udara sedingin ini. Aku saja sudah menggigil. Apa aku sebaiknya tidur saja? Tapi, rasanya sayang kalau aku meninggalkan dia sendiri. Walaupun mungkin dia tidak tahu aku menemaninya dari sini, entah mengapa ada rasa rindu menyelusup.Tak berapa lama dia masuk ke dalam kamarnya. Sudah lewat tengah malam. Aku pun sebaiknya tidur juga. Aku harus datang ke kantor lebih awal besok. Aku memperhatikan gelas yang dia tinggalkan di atas meja. Masih ada sisa minuman di dalamnya. Warnanya putih. Susu? Sejak kapan dia suka minum susu? Bukankah waktu kecil dia pernah sakit perut karena minum susu. Semenjak itu, ia tidak pernah lagi menyentuh susu.
Untung saja pagi ini aku tidak bangun terlambat. Aku sudah bersiap-siap pergi ke kantor. Aku melihat rumah sebelah, rumah gadis itu. Tampak sepi. Biasanya jam segini dia sudah siap berangkat kuliah dan menyapaku hangat, sehangat pagi ini. Ketika aku lewat di depan rumahnya, Pak Salim, satpam di rumahnya menyapaku ramah. Aku sengaja menghentikan mobilku sejenak dan bertanya ke pada Pak Salim, “Kok rumahnya sepi amat, Pak?”
“Iya, Mas Radit. Tuan sekeluarga berangkat tadi pagi-pagi sekali. Katanya mau ke Bandung.”
“Bandung?” mungkin gadis itu sedang mengunjungi kakek neneknya. Mereka berangkat ke sana di hari kerja. Mungkin ada hal penting.
Tiba-tiba ponselku berdering. Ternyata dari bosku. Aku harus segera sampai di kantor.
“Saya duluan, Pak! “aku tersenyum dan melanjutkan perjalananku ke kantor.
Hari ini pun kulalui dengan tidak semangat. Entah mengapa aku kehilangan semangat untuk bekerja. Padahal ini adalah hari pertamaku. Tapi, aku tidak merasa senang. Mungkin karena jetlag atau sejenis itu.
Ponselku berbunyi dan itu telepon dari Papa. Aku sedikit merasa bersalah pada Papa. Sudah seminggu aku di sini tapi aku tidak memberitahukan keberadaanku. Bisa saja Papa khawatir karena aku tidak memberi kabar.
“Halo, Pa! Iya. Radit minta maaf nggak kasih tahu Papa kalau Radit udah nyampe di Indonesia. Radit kira Papa sedang sibuk dan nggak bisa diganggu...,”
Panggilan telepon kuakhiri. Aku menghembuskan nafas. Sudah lebih dari lima tahun aku tidak kembali ke Indonesia. Ternyata, banyak sekali perubahan yang terjadi. Namun, entah mengapa sepertinya ada yang luput dari pandanganku.
Hari pertama yang kulalui, biasa saja. Walaupun demikian, menjadi seorang arsitek tentu saja tidak mudah. Aku harus banyak belajar dari para senior dan mereka menyambutku dengan cukup ramah. Saatnya kembali ke rumah. Rumah yang sepi. Apakah sebaiknya aku berkunjung saja ke rumah gadis itu malam ini? Mungkin saja kami bisa berbincang atau sekedar bertukar sapaan.
Sekarang aku berada di depan rumahnya. Pukul setengah delapan malam. Baikkah waktu ini untuk berkunjung? Biasanya keluarga gadis itu sedang bersiap-siap untuk makan malam. Teringat saat aku masih kecil. Seringkali aku makan malam di rumah ini. Khususnya setelah Papa berpisah dengan Mama. Aku hampir tidak pernah makan di rumah. Aku muak dengan semuanya. Dan di sinilah aku menemukan ketenangan. Bermain bersama gadis itu, dan kadang-kadang saudara perempuannya.
Gadis yang manis. Selalu mengatakan apa yang ia ingin katakan tanpa tahu itu akan menyenangkan hati orang lain atau sebaliknya. Kejujurannya itu mempesonaku dan mulai menyembuhkan lukaku. Tapi, sudah lebih dari lima tahun kami tidak bertemu. Pasti dia sekarang sudah menjadi seorang dokter yang hebat. Bagaimana aku harus memulai pembicaraan? Mungkin dengan menyapanya dengan ‘hai’ atau mungkin langsung saja bersikap akrab seperti lima tahun lagi?
Karena terlalu lama berpikir aku tidak sadar ternyata pintu terbuka. Di sana sudah ada seorang gadis. Dia terlihat terkejut lalu tersenyum. Seorang gadis yang aku lihat tadi malam dari teras kamarku.
“Radit?! Selamat malam!” dia tersenyum. Aku menatap wajah gadis yang telah mengubah hidupku menjadi lebih baik beberapa detik sebelum akhirnya tersadar.
“Eh, iya. Aku baru pulang seminggu lalu. Belum sempat berkunjung karena, ehm banyak yang harus aku urus. Yah, begitulah,” aku mencoba menjelaskan.
“Iya. Aku tahu. Nggak perlu kamu jelasin, kok,” wajah itu kembali tersenyum, namun entah mengapa rasanya berbeda.
“Om dan Tante ada?”
“Oh, Mama dan Papa masih di Bandung. Aku pulang duluan. Papa dan Mama bakal menginap di sana sampai lusa.”
“Ada urusan penting di Bandung?” aku masih berada di depan pintu bertanya padanya.
“Iya, Kami mengunjungi Kania. Oh, ya. Kebetulan. Makan malem baru aja siap. Makan malem di sini aja, ya. Kamu juga nggak ada temen makan, kan. Yuk, masuk!” gadis itu mengajakku masuk dan menuju ke ruang makan. Namun, aku menghentikannya.
“Kania?” aku memanggil nama gadis itu. Sudah lama aku tidak menyebut namanya. Rasanya aneh.
Gadis itu berbalik. Ekspresi wajahnya tidak bisa aku tebak, ”Hmm, iya. Kami ziarah ke sana.”
Seketika aku membeku. Bergeming. Pikiranku berputar kemana-mana. Aku baru sadar gadis di depanku bukan gadis yang selama ini aku pikirkan. Dia bukan Kania, tapi saudara perempuannya. Tepatnya saudara kembarnya, Lana. Dan gadis yang aku lihat berdiri di depan kamar Kania itu juga Lana. Pantas saja gadis itu minum susu di malam itu, bukan coklat.
Ingatanku kembali di saat aku mendapat telepon dari Papa bahwa Kania meninggal dunia satu tahun lalu. Kecelakaan mobil. Aku tidak bisa kembali ke Indonesia. Aku terpuruk dan kuliahku sempat tersendat. Aku berjuang dan akhirnya bisa menyelesaikan semuanya dan kembali. Tapi, Kania sudah tidak ada. Mengapa aku bisa lupa akan hal itu? Gadis yang membuatku selalu tenang dan nyaman itu sudah tidak ada. Mataku mulai memanas.
“Radit? Kamu nggak papa?” Lana terlihat bingung dengan sikapku.
Aku menguasai diri kemudian menjawab, “A, aku tiba-tiba teringat ada yang harus aku kerjakan. Aku pulang dulu.”
Aku pulang begitu saja tidak memperdulikan panggilan Lana. Aku mulai kesulitan bernapas. Asmaku kambuh. Aku meraih tabung oksigenku dan menghirupnya. Asmaku mereda. Namun, dadaku masih terasa sesak. Bukan karena asma tapi karena hal lain. Sesuatu yang tidak bisa kuobati sendiri. Aku butuh dia.
Aku teringat suatu saat, kami masih SMP dan asmaku sering kambuh. Saat itu Papa baru saja berpisah dengan Mama. Suatu ketika dia datang ke rumahku dan mendapati aku dengan tabung ini di tanganku. Dia merasa cemas karena aku terlihat tidak sehat. Aku mengatakan bahwa dadaku sering terasa sesak, lebih dari biasanya, tapi tabung oksigenku tidak cukup membantu. Dia lalu medekatiku lalu berkata, “Sesak itu bukan karena asmamu. Tabung itu tidak cukup baik menyembuhkannya. Kamu butuh orang lain, untuk menyembuhkan sakit itu.”
Dia kemudian tersenyum, “Kalau aku bisa membantu. Aku akan sangat senang. Walaupun tidak bisa menghilangkannya, aku bisa mengurangi rasa sakit itu,” gadis itu tersenyum dan aku pun tersenyum. Kemudian dia melanjutkan, Jika, suatu saat aku tidak ada untuk itu, mungkin kotak musik ini bisa membantumu. Meskipun telat satu hari, selamat ulang tahun! Oh, ya. Ulang tahunku empat bulan lagi pada tanggal yang sama denganmu. Hanya memberi tahu. Bukan berarti aku minta hadiah, lho.”
Aku mengambil kotak musik pemberian Kania. Itu hadiah ulang tahunku ke empat belas dari Kania. Sesaat sebelum aku berangkat ke Amerika dia meminjamnya sebentar, entah untuk apa. Aku mencoba memutarnya kembali. Namun, kotak itu tidak berbunyi. Aku mengambil obeng dan mencoba melihat isinya. Mungkin saja baterainya harus diganti. Aku mencoba membongkarnya dan tiba-tiba terdengar suara yang aku kenal sebagai suara gadis itu, Kania.
“Selamat! Selamat! Selamat! Akhirnya kamu diterima kuliah di Amerika! Hehe, pasti kamu kaget, kan, mendengar ini. Aku sengaja mau memberikanmu kejutan. Hmm, kita masing-masing sudah diterima di fakultas sesuai cita-cita kita. Nantinya kamu akan jadi arsitek dan aku akan jadi dokter. Huh! Aku tahu kalau aku akan sangat jarang bisa bertemu denganmu. Jadi, aku buat kejutan saat kamu kembali, entah itu liburan atau kamu udah jadi arsitek yang hebat, kamu bisa mendengar ini saat membuka hadiah ulang tahun yang pertama kali aku berikan ini.” jadi ini alasan dia meminjamnya beberapa hari sebelum aku berangkat, “Hmm, karena kita akan jarang ketemu aku hanya mau doain agar kamu akan jadi orang yang hebat nantinya. Karena kalau kamu, pasti bisa. Kamu akan dewasa dengan semua hal yang pernah kamu lalui. Aku yakin kamu sekarang berkali-kali lebih kuat dari saat pertama kali kita bertemu. Semua orang punya kenangan, yang baik atau buruk. Mereka menjadi dewasa dengan semua itu. Kita juga seperti itu. Dan satu hal lagi, jangan lupain aku ya kalau udah jadi arsitek nanti dan untuk seumur hidup kamu.”
Kini rasa sesak dan sakit itu datang lagi dan aku tidak tahu kali ini siapa yang bisa mengobatinya. Setidaknya aku pernah punya sahabat yang sangat baik dan bagiku lebih dari itu. Aku sangat menghargainya. Aku tidak bisa menemukan kata-kata yang lebih baik dari terima kasih. Aku melihat kalender yang menempel di kamarku. Hari ini, hari ulang tahunnya. Selamat ulang tahun, Kania!
chaniiiiiiiiiiizzz..
ikutan nyesek bacanya..
mantep dah ituh si raditnya nginget si kania mpe segitunya..
kenangan yg gak bakalan dilupain yahh...
keren chan!!
^o^
tetep semangat nulis yok cam...
Biar icha ada kawan
hehe