Malam hampir beranjak pagi. Tapi mataku tak kunjung dihinggapi kantuk. Aku harus memastikan semuanya berjalan sempurna esok hari. Untuk itu aku merasa perlu menelepon Teguh sebelum tidur.
“Malam, Dian! Ada apa? Kok belum tidur.” Suaranya terdengar
masih begitu segar. Sepertinya efek kafein dari kopi yang menjadi minuman terbaik
di saat dirinya sibuk seperti ini sedang bekerja.
“Malam, Guh. Aku nggak bisa tidur, nih. Kenapa, ya? Buat besok pasti lancar,
kan?!”
“Hei, kamu kena Syndrome Before Marriage, ya? Udah jam berapa, nih? Tidur sana, Aku jamin besok bakalan lancar. Nggak perlu khawatir gitu ah.” Sepertinya suaraku jelas
menyiratkan kecemasan yang kurasakan padanya.
“Kenapa ucapanmu
selalu bisa menenangkanku yah?! Aneh. Tapi, baiklah aku tidur sekarang. Thanks, ya. Eh, jangan kebanyakan
minum kopi tuh.”
“Coffee like drugs to me. Lagi sibuk gini mana bisa tanpa kopi. Oke, good
night! Bye!”
“Good night! Bye!”
Akad nikah akan dilaksanakan satu jam lagi di rumahku.
Mas Aris dan keluarganya sudah datang. Sosok Teguh belum juga tampak. Hujan yang
turun begitu deras sejak pagi membuatku kembali khawatir. Namun, semua terlihat
gembira yang memberikan kekuatan lebih padaku, terlebih Mama yang sudah sibuk sejak
aku pagi-pagi sekali mengurus segala hal. Aku tidak diperbolehkan membantu, kata
Mama, “Calon pengantin hanya perlu duduk dan diam.”
Teguh pun muncul dengan tergesa-gesa. Pasti ada hal
mendadak yang harus dikerjakan hingga telat begini karena ia bukanlah tipe jam
karet. Beberapa kepala menoleh menyadari kehadirannya yang memang selalu
menarik perhatian. Garis wajah yang sempurna akan selalu dilirik oleh para
gadis. Dia tersenyum sekilas melihatku. Aku membalas. Dia melangkah mantap
menuju kursi di sebelah calon pengantin pria. Sekarang aku merasa benar-benar
siap untuk menikah.
Akad nikah berjalan lancar dan hujan pun berhenti. Teguh
terlihat begitu sibuk mengurusi keperluan acara selanjutnya. Berjalan kesana
kemari memastikan semuanya lancar nantinya. Disampingku Mas Aris, suamiku tercinta,
tersenyum.
“Nggak salah, ya aku milih WO Teguh. Dia
melakukannya dengan sempurna,” Mas Aris berkomentar sambil menunggu tamu yang
akan bersalaman.
“Minus telatnya tadi tapi,” Mas Aris tertawa kecil
mendengar celetukanku. “Kalau totalitas ngelakuin
tugasnya nggak perlu diragukan deh.”
“Masa?! Wah, pantesan banyak cewek yang naksir. Jangan-jangan
dulu kamu juga naksir dia, ya?” Mas Aris bercanda sambil melirikku.
Aku tersenyum dan menjawab mantap, “Ya nggak lah.
Teguh itu playboy dari jaman SMA. Ceweknya gonta-ganti mulu. Tapi, sebagai teman dia oke.”
“Baguslah. Kalau saingan sama Teguh, aku nggak bakal
menang,” Mas Aris masih bercanda. Namun, aku kehilangan selera untuk menimpali
kata-katanya dan untungnya ada tamu yang akan bersalaman.
Disela-sela tamu yang datang bersalaman dan juga
berfoto, Mas Aris sekilas bertanya, “aku penasaran gimana kamu bisa berteman
dengan orang seajaib Teguh?” Dan kemudian memori tujuh tahun yang lalu kembali
mengapung bebas di pikiranku.
Seperti biasa aku datang awal ke sekolah. Terkadang
terdiam di depan kelas menunggu Pak Dimo, penjaga sekolah untuk membukakan
pintu kelas. Hari ini, aku menuju kolam di depan kelas. Kolam yang biasanya menjadi
tempat menceburkan teman yang sedang berulang tahun itu terlihat agak kotor.
Tiba-tiba kulihat selembar kertas jatuh di atas kolam.
“Siapa yang buang sampah sembarangan? Di
kolam lagi.” Aku melihat arah asal lemparan kertas. Wajahnya tidak terlihat
karena membelakangiku. Namun aku tahu dia sedang serius mencorat-coret sesuatu
di bukunya. Kemudian dirobeknya dan dibuang kembali ke arah kolam. Aku mulai
dongkol dan menghampirinya.
“Sorry, ganggu. Tapi, kalau mau buang sampah
jangan di kolam dong. Itu ada tempat sampah nggak jauh loh dari kamu.
Bisa kan buangnya di sana aja, jangan di kolam.” Aku mulai mengomel.
Dia menoleh. Dalam hitungan detik otak kecilku langsung
bisa menerjemahkan kalau dia termasuk kriteria pemuda tampan. Tapi, kemudian
dia kembali menekuri aktivitas corat-coret di bukunya lagi. Walau agak kesal,
aku juga bukan gadis tidak tahu aturan yang akan langsung mengamuk dengan
merebut bukunya. Akhirnya aku memberanikan diri bertanya, “Kamu sedang ngerjain tugas mengarang liburan kemarin,
ya?”
Mendengar ucapanku dia langsung tertawa kemudian menoleh
lagi dan menjawab, “Hari gini tugas mengarang kegiatan liburan?! Itu tugas anak
SD kali.” Ucapannya yang terkesan meremehkanku tak membuatku kesal karena
tawanya. Aku memang selalu lemah dengan orang dengan tawa seperti itu.
“Trus, kamu lagi nulis apa, dong? Serius banget
kelihatannya.” aku masih penasaran.
“Kamu Dian, anak XI IPA 1 kan? Aku Teguh XI IPS 3.
Mungkin kamu nggak kenal aku karena kelas kita dari ujung ke ujung.
Besok pagi deh aku liatin, sekarang belum jadi soalnya. Oke?” Dia kemudian pergi
Itu adalah pertemuan pertamaku dengan Teguh. Playboy
sekolah yang selalu datang pagi-pagi dan duduk di pinggir kolam hanya untuk
menulis puisi. Kadang-kadang aku dibuatkan olehnya. Kuakui dia punya bakat.
Pertemuan kami setiap pagi sebelum bel sekolah begitu alami, sampai aku
menyadari ada rasa lain yang tak biasa. Aku tak tahu apa dia juga merasakannya.
Namun, hari-hari kami selama dua tahun tidak ada yang
berbeda. Seperti itu setiap pagi dan tidak ada yang berubah. Kadang aku melihat
dia bersama seorang gadis yang berbeda setiap bulan. Saat bertemu di kantin
atau koridor kelas, kami hanya bertukar senyuman. Puisi buatan Teguh yang
memenuhi kamarku hampir tak terhitung jumlahnya. Hanya sebatas itulah, tidak
lebih, tapi aku merasa cukup puas. Setidaknya aku selalu meyakinkan hal itu
pada diriku sendiri.
Kemudian saat kami lulus SMA. Aku kehilangan kontak dengannya
selama hampir empat tahun. Aku melanjutkan kuliah, lulus, dan berkenalan dengan
Mas Aris, anak dari teman lama Papa. Akhirnya saat Mas Aris melamarku dan aku
setuju, dia tiba-tiba hadir kembali. Mas Aris mendapatkan rekomendasi dari
rekan bisnisnya untuk menggunakan jasa Wedding Organizer milik Teguh. Setelah
sekian lama tidak bertemu, dia tetap seperti Teguh yang dulu. Senyum dan tawanya
yang khas serta kata-kata yang selalu bisa meyakinkan orang lain tidak berubah
sama sekali. Walaupun aku tahu rasa itu masih ada untuknya, aku sudah
memutuskan siapa yang akan menjadi pendamping hidupku saat ini. Aku tak akan
goyah hanya karena kehadirannya yang tiba-tiba kembali dalam kehidupanku.
Satu waktu saat Mas Aris masih sangat sibuk dengan pekerjaannya
dan waktu pernikahan kami hanya berselang satu bulan lagi, Mas Aris memintaku
untuk menemui Teguh sendirian untuk membicarakan persiapan akhir dan beberapa
detil tambahan yang mau kami tambahkan pada dekorasi. Itulah pertama kalinya
kami berbicara berdua saja setelah lama tidak bertemu. Senyumnya tidak berubah
dan dia terlihat sangat professional. Aku mati-matian mencoba untuk tidak
bersikap aneh di depannya. Untungnya pembicaraan kami berjalan lancar tanpa ada
insiden aneh yang terjadi. Sebelum aku beranjak pulang, dia menahanku dan
mengajak makan siang. Aku pun mengiyakan.
“Selamat atas pernikahanmu! Aku mengatakannya sebagai
seseorang yang pernah jadi temanmu.” Dia berkata sambil menyeruput kopinya.
“Makasih,” aku mengeryitkan dahi. Teringat dulu dia
selalu ditemani kopi saat menulis puisi yang dibeli dari warung sebelah sekolah
karena kantin belum buka. “Kamu kemana aja selama ini, Guh? Nggak ada
kabar.”
“Sorry. Aku
tiba-tiba menghilang dan tidak mengontak siapa pun. Ada sedikit masalah
keluarga. Tapi, sekarang sudah selesai dan banyak hal yang terjadi hingga aku
menjadi pemilik usaha WO ini. Ceritanya sangat panjang. Aku tidak ingin kamu
bosan mendengarnya,” dia tersenyum lagi. Namun, aku melihat ada luka di sana.
Dia selalu meyimpan semua ceritanya sendiri. Mungkin juga sebagian ia tuangkan
melalui puisi-puisinya. Aku tidak pernah benar-benar mengerti dirinya.
“Oke, tepat sebulan lagi kamu akan menikah. Sebagai
teman, aku ingin memberikanmu hadiah.,” Teguh merogoh sisi dalam jasnya,
mengeluarkan amplop putih dan menyerahkannya padaku.
“Ini pasti puisi,” tebakku.
“Iya, sudah lama aku nggak nulis puisi buat
kamu, “ ia mengiyakan lalu melihat arlojinya, “aku harus pergi sekarang. Buat
makan siangnya aku yang traktir. Sekali lagi, selamat atas pernikahanmu.” Senyuman
yang terulas di bibirnya begitu manis, tanda ketulusan dari dasar hati tersirat
di sana.
Punggung Teguh semakin menjauh, aku pun beringsut dari
kursi untuk segera pulang dan membaca puisi darinya. Setiba di rumah aku segera
masuk kamar dan mengunci pintu. Kubuka amplop itu perlahan, menarik napas dalam,
dan mulai membaca.
Kau suara yang akan selalu kurindukan
Bersama deru napas bercengkrama dengan alam
Hanya
melalui desau angin atau riak ombak mencipta kilau
Seperti
saat kita masih tanpa rasa
Saat
kaki-kaki kita masih telanjang tanpa rasa sakit
Saat
dewasa hanyalah mimpi yang jauh
Saat
pagi hanya milik kau dan aku
Namun
semua tak lagi sama
Kau
nyata dan aku hanyalah bias
Seperti cermin dan bayangan yang dekat
Namun tidak akan pernah bisa bersama
Karena
waktu tak menanti esok
Hanya hening meninggalkan
hari
Dan kau akan selalu seindah pagi
* For My Beloved Best Friend… Happy
Wedding, ya. Semoga langgeng sampai maut memisahkanmu dan Aris. He is a perfect
husband. Mungkin, ini puisi terakhir untukmu. Kamu dan Aris harus bahagia. Aku
juga akan mencoba mendapatkan kebahagiaan yang sama suatu saat nanti.
“Teguh Pratama”
Setitik demi setitik air mataku jatuh. Akhirnya kutemukan
jawaban dari pertanyaan yang selama ini terpendam. Aku sangat yakin semua ini
adalah takdir yang terbaik buat kami.
Mas
Aris menggenggam tanganku dan aku tersadar dari memori masa itu. Wajahnya
terlihat cemas, “Kamu kenapa, Dian? Kok bengong? Acara resepsinya baru mau
dimulai. Apa kamu kecapean? Mau istirahat dulu?”
Aku tersenyum, “Nggak kok,
mas. Aku baik-baik aja.”
“Kamu yakin?” wajah Mas Aris masih
terlihat cemas.
“Iya, aku yakin.”
Aku
menangkap mata Teguh yang melihat ke arahku dan lagi-lagi dia menyunggingkan
senyum manisnya. Aku balas tersenyum. “Aku
selalu percaya dengan kata-katamu, Guh. Mas Aris akan menjadi suami terbaik
yang Tuhan berikan untukku, seperti katamu.”