"Masih jauh ya, Din?" Nia mulai terdengar tak sabar mengendarai motornya sambil sesekali mengusap tetesan keringat yang hampir jatuh dari wajahnya. Cuaca kota Pontianak memang sangat cerah hari ini. Hanya terlihat sedikit awan menggantung di langit, selebihnya hanya ada langit biru yang menaungi. Tidak ada tanda-tanda akan turun hujan. Sepertinya rencana kami hari ini akan lancar.
"Bentar lagi nyampe kok, Nia. Kamu liat nggak POM bensin yang ada di sebelah kanan itu. Nah, masuk aja ke gang di sampingnya," aku menjelaskan tempat yang akan kami tuju. Hampir tiga puluh menit Nia mengendarai motornya dari kampus kami.
"Oke, bentar lagi kita sampai," nada suaranya berubah, terdengar bersemangat walaupun sedikit serak. Mungkin karena di sepanjang jalan tadi ia tidak berhenti berbicara dan sudah mulai kehausan.
Motor yang yang dikendarai Nia masuk kedalam gang sempit yang jalannya sudah mulai rusak di sana-sini. Bebatuan di sepanjang jalan membuat motor berguncang. Beberapa anak kecil berlarian membuat Nia harus mengurangi kecepatan motornya setelah hampir saja menabrak seorang anak yang tiba-tiba saja muncul dari balik pagar. Melihat ukuran tubuh Nia yang kecil, ia cukup lincah dengan motornya.
"Kita hampir sampai. Itu rumah berwarna hijau muda yang ada di ujung, sebelum sungai," jelasku kepada Nia. Nia menambah laju kendaraannya membuat aku hampir terjungkal ke belakang kalau tidak memeganginya.
"Akhirnya kita sampai," Nia tersenyum senang sambil menggerakkan badannya, ke kanan dan ke kiri, “Jadi ini ya, rumahmu? Lumayan jauh. Tapi sejauh apapun, aku tidak keberatan.”
Aku tersenyum. Kelihatan sekali raut lelah dari wajahnya. Namun, ia tampak sangat gembira. Cukup aneh. Lebih baik aku segera menyuruhnya masuk, "Silakan masuk, Nia. Aku mau ganti baju dulu."
Aku tersenyum. Kelihatan sekali raut lelah dari wajahnya. Namun, ia tampak sangat gembira. Cukup aneh. Lebih baik aku segera menyuruhnya masuk, "Silakan masuk, Nia. Aku mau ganti baju dulu."
"Ya, silakan. Aku akan setia kok, menunggu di sini. Tapi, jangan lama-lama, ya," Nia memamerkan gigi-gigi serinya.
Aku segera menuju kamarku dan sesegera mungkin berganti pakaian. Kasihan Nia. Sudah jauh-jauh datang kesini dan ditambah lagi harus menunggu lama. Kamarku sendiri langsung menghadap ke sungai. Saat malam tiba, udara akan terasa sangat dingin karena angin berhembus dari arah sungai. Aku harus memakai selimut yang cukup tebal supaya tidak kedinginan.
"Siapa yang datang, Din?" Emak muncul dari dapur, melongok masuk ke dalam kamarku.
"Teman kuliah Dina, Mak. Namanya Nia. Dia pengen diajak jalan-jalan di tepian sungai.”
“Lho, memangnya dia dari daerah mana?” Emak masuk ke dalam kamar, tampak penasaran.
“Dia juga orang Pontianak, Mak. Tapi nggak pernah liat sungai kapuas. Jadi, katanya pengen liat gitu. Lucu juga ya, Mak," aku tersenyum.
"Bukannya itu biasa aja, Din. Apa istimewanya pernah liat sungai kapuas? Kamu aja yang tinggal di dekat sungai nggak pernah jalan-jalan di tepiannya. Palingan saat kamu masih kecil. Waktu kamu masih senang bawa payung kemana-mana. Akhirnya pulang basah kuyup sambil nangis, karena kamu dan payungmu kecebur di sungai."
"Mak, kok masih ingat aja masalah dulu? Dina kecebur waktu itu karena anginnya kenceng banget. Yang paling penting kan Dina baik-baik aja dan nggak kurang sesuatu apapun," aku mencari alasan dan pura-pura cemberut.
"Tentu aja ada yang kurang. Payung kamu udah hanyut kebawa arus,” Emak tampaknya masih mau terus menyindirku, namun urung karena melihat wajahku yang semakin kusut, “Ya sudah, kalau begitu. Jangan lupa kasih minuman buat temanmu. Itu ada pisang goreng di dapur. Pisangnya manis, sepertinya langsung masak di pohonnya. Emak mau ke sebelah dulu, nganterin pisang goreng."
"Sip, Mak. Apa nggak Dina aja yang nganterin pisang gorengnya?"
"Nggak usah. Kamu temenin aja temanmu itu. Ajak dia jalan-jalan sampe puas. Biar dia ngerasa jadi orang Pontianak."
"Iya deh, Mak. Makasih buat pisang gorengnya,” aku segera pergi menuju dapur untuk mempersiapkan penganan kecil buat temanku itu.
"Udah lama nunggunya, Nia? Maaf, agak lama." aku keluar sambil membawa tiga potong pisang goreng dan segelas teh manis.
"Akhirnya muncul juga. Tapi nggak papa, kok. Lagian aku dikasih minum sama pisang goreng. Aku juga sambil liatin kolam ikan dari balik jendela. Siapa yang melihara ikan?" Nia menunjuk kolam ikan kecil di samping rumahku. Kolam itu airnya jernih, karena selalu dibersihkan Bapak.
"Oh, itu kolam ikannya Bapak."
"Kok sedikit ikannya? Banyak kamu goreng, ya? Hehe,” Nia bercanda sambil mencomot pisang goreng yang aku sediakan, ”Wah, manis! Enak!”
"Bukan. Sebagian kecil mati, tapi kebanyakan hanyut."
"Hanyut? Hanyut kemana?"
"Iya. Di akhir tahun biasanya air laut pasang. Sungai jadi meluap dan banjir. Di daerah dekat sungai seperti rumahku ini, biasanya ikut terendam. Makanya ikan-ikan jadi kabur."
"Lho, kalo udah tahu langganan banjir, kok kolamnya nggak ditinggikan?"
"Aku udah pernah bilang ke Bapak. Tapi, nggak tahu juga sampe sekarang kenapa nggak ditinggikan. Mungkin Bapak lupa." aku juga tidak mengerti mengapa Bapak tidak mau meninggikan kolam ikan yang pasti akan meluap kalau banjir datang. Entah sudah berapa banyak ikan Bapak yang hanyut karena banjir, namun Bapak tetap saja memelihara ikan yang baru hingga besar dan kemudian tersapu banjir kembali.
"Kamu sendiri, apa alasan ingin melihat Sungai Kapuas secara langsung? Bukannya nggak ada yang menarik, ya?" akhirnya pertanyaan yang aku simpan selama ini aku tanyakan juga.
"Alasan aku ingin melihat langsung sungai kapuas?" ia balik bertanya seakan kurang jelas dengan pertanyaanku. Namun ia tersenyum, pertanda ia hanya ingin menegaskan pertanyaanku.
"Iya, apa alasannya?"
"Karena aku orang Pontianak," dia menjawab dengan lugas dan mantap.
"Hanya itu?" aku mengerutkan dahi. Alasannya sangat sederhana. Aku tidak terlalu memahaminya. Alasannya kurang bisa diterima oleh akalku.
Nia memperhatikan ekspresiku, dan kami terdiam beberapa saat sampai ia membuka suara, "Ya, udah deh, aku nyerah. Sebenarnya alasan aku minta tolong sama kamu ngajak aku jalan-jalan ke sungai karena aku sama sekali nggak tau tentang Sungai Kapuas."
"Lalu?" aku setia menanti penjelasan lebih lanjut darinya.
"Aku punya teman yang tinggal di Jogja. Nah, aku kan sering nanyain dia tentang Jogja dan wisata di sana. Tapi, waktu dia nanya balik mengenai Pontianak, aku bingung mau menjelaskan apa. Hal yang aku ingat cuma Tugu Khatulistiwa. Lalu, dia nanya tentang Sungai Kapuas, sungai terpanjang di Indonesia. Itupun aku nggak terlalu tau. Huft, malu rasanya. Kota sendiri nggak kenal. Maka dari itu, aku pengen liat Sungai Kapuas secara langsung," Nia mengakhiri ceritanya sambil melahap habis pisang goreng yang aku sediakan.
"Jadi begitu ceritanya. Aku ngerti, kok. Kalo gitu kita mulai aja deh jalan-jalannnya. Mumpung hari ini cerah."
"Baiklah. kalau begitu aku keluarkan dulu peralatannya," ia mengambil tasnya yang dari tadi terlihat menggembung.
"Peralatan?" aku tidak bisa menerka apa yang ia bawa hingga terlihat sebuah benda yang ia keluarkan dari tasnya. Sebuah payung berwarna biru.
"Berhubung cuaca di kota kita yang tercinta ini sedang panas-panasnya, jadi supaya kulit kita terlindungi, aku siapkan payung ini," Nia tersenyum bangga, seakan-akan ia telah melakukan hal luar biasa.
"Aku dulu juga punya payung dengan warna yang sama kayak gitu," aku tersenyum mengingat kejadian waktu itu.
"Emangnya payunganya udah nggak ada?"
"Iya, nggak ada lagi."
"Udah rusak, ya?" Nia mulai membuka payungnya.
Tiba-tiba Emak datang, "Lho, udah selesai jalan-jalannya?"
"Belum, Mak. Ini juga mau berangkat. Iya, kan Nia?"
"Iya, Tante. Bentar lagi. Nih, saya sudah bawa persiapannya."
"Wah, emang lagi panas sekali cuacanya. Mungkin emang butuh payung."
"Kalo gitu habisin dulu tehnya, Nia. Tinggal sedikit lagi," sambungku.
"Eh, warna payungnya mirip payung kamu yang dulu ya, Din?" Emak tiba-tiba menimpali, "Sayang payungnya kecebur. Kamu juga sampe basah kuyup."
"Kecebur dimana Tante?" Nia meraih gelasnya, sepertinya berniat menghabiskannya.
"Kecebur di sungai. Untung Dina bisa berenang," jawab Emak.
"Uhuk!" teh menyembur dari mulut Nia.
"Kenapa, Nia?" aku kaget. Mengapa ia bisa keselek?
"Bagaimana kalo kita nggak jadi jalan-jalan aja?" Nia terlihat ketakutan. Aku jadi sedikit geli melihatnya.
"Lho, kenapa?" aku dan Emak bertanya hampir bersamaan.
"Aku nggak bisa berenang..."
gang kecil yang jalannya udah mw rusak itu gg bansir 1 kah? wkwkwkwkwk
wew... gang bansir satu jalannya nda rusak... ckckckck.. libur ngapain bu?