Sebelum Kita Tidak Punya Pilihan Lagi


.

Saya merindukan Pontianak. Yah, begitulah adanya. Walaupun Pontianak adalah kota yang dilalui oleh garis khatulistiwa sehingga kota tercinta ini mendapat sinar matahari yang lebih banyak daripada kota lainnya –membuatnya menjadi sangat panas. Tiga hari lalu saya baru pulang dari luar kota bersama dua orang teman seperjuangan dengan tujuan yang sangat mulia. Bukan mencari kitab suci atau mendapatkan lisensi hunter. Ada tujuan lain yang membuat kami kesana. Kalau tidak, saya mungkin tidak akan repot-repot ke sana. Saya kurang suka jalan-jalan dan (baru saya ketahui) naik pesawat. Bukan karena takut ketinggian atau mabuk udara. Saya menderita alergi sinusitis atau sejenisnya, sehingga naik pesawat yang hanya satu jam pun, merupakan siksaan bagi saya. Kalau suatu saat ada yang bertemu saya di pesawat dan saya terlihat cuek, ketahuilah sebenarnya saya sedang menutup telinga saya dengan kapas atau tisu. Saya jadi berpikir bagaimana saya bisa ke Jepang kalau begini ceritanya. Mungkin saya bisa berwisata dengan kapal pesiar menuju ke sana. Setelah sampai di sana, saya langsung pulang dengan perahu kecil karena kehabisan uang atau bekerja serabutan di sana demi mendapatkan uang untuk pulang ke tanah air. Mudah-mudahan itu tidak terjadi. Kalau pun mejadi pengantar susu atau koran, semoga saja itu hanya kerja sambilan dan tujuan utama ke sana adalah kuliah. Semoga saja. Doakan saya.

Saya mengatakan merindukan kota kelahiran saya -bahkan saat seorang kakak-kakak yang nge-kost di depan kamar tidak tahu di mana letak kota saya, sampai kami mengatakan saja Pulau Kalimantan agar wajah bingung kakak itu hilang. Saya penyuka pelajaran geografi dan saya bingung apakah memang begitu, ya? Mungkin orang yang tidak tahu letak kota Pontianak tidak menyukai pelajaran geografi atau waktu SD masuk dalam pelajran IPS. Apa mungkin karena waktu SD saya takut terkena sentilan guru IPS saya, membuat saya menghapal semua Ibukota Provinsi di Indonesia? Lalu, apakah hanya saya saja yang merasa aneh dengan orang yang tidak tahu Pontianak itu ibukota Provinsi Kalimantan Barat? Waduh, padahal bukan provinsi baru. Semoga saja itu artinya mereka tidak terlalu menyukai pelajaran IPS atau mungkin karena Provinsi di Indonesia terlalu banyak.

Sekali lagi saya merindukan kota kelahiran saya. Tapi, kalau saya selalu berada pada zona aman saya tidak akan berkembang. Kalau saya selalu berada pada keadaan yang tidak membuat saya menjadi lebih baik saya tentu tidak akan bisa membuat suatu loncatan yang besar. Maka benarlah kata Nabi Muhammad yang mengatakan, “Tuntutlah ilmu hingga ke Negeri China.” Jika kita selalu ingin berada di zona aman, mungkin hidup kita juga aman dan tidak mengalami perubahan yang berarti. Semua itu tergantung dari pilihan kita masing-masing.

Dalam sebuah materi, saya mendapati ada empat hal yang tidak akan pernah kembali:
-          Batu, apabila telah dilempar
-          Kata-kata, apabila telah diucapkan
-          Waktu, apabila telah dilewati
-          Kesempatan, apabila telah pergi

Untuk itu, hidup memang tentang pilihan-pilihan. Kita diharuskan memilih menjadi biasa saja atau lebih baik. Pilihlah yang menurut kita baik, sebelum kita tidak punya pilihan lagi. 

6 Responses to “Sebelum Kita Tidak Punya Pilihan Lagi”

  1. Mikochin says:

    akhirnya ngerase kan... geografi oh geografi :p

    jadi udah pulang ke pontianak keh?

  2. ho oh... kesian benar gak kote kite ni. Masa orang pade nda tau.
    Udah balek, ci...
    Tapi, ntar mesti pegi agik...

  3. Unknown says:

    Assaalamu'alaikum... Ukhti temannya Yuyun ke yang dari Putussibau? kulihat salah satu di photo 3 friends dirimu ada yang mirip yuyun... kalo bener itu yuyun salam yaa ukhti dari kak ria (kakaknya Maia)

  4. waalaikumsalam wr wb
    Iya ukh.. temen sma... insya Allah salamnya udah disampaikan...
    ^^

  5. Unknown says:

    Numpang nyimak..
    kalo bermanfaat, di follow yah..
    http://fs-galery.blogspot.com/

Your Reply