Cermin Langit (Bag 1)


.


17 Oktober 2011
Seorang bocah berlari dengan semangat tanpa melihat kebelakang, melewati beberapa tiang dan kemudian berhenti pada suatu tempat. “Yes! Aman.”
Teman yang mengejar bola mati-matian menggerutu karena tidak sempat melakukan apa-apa dan melempar kembali bola ke pelempar.
Di kejauhan seorang gadis dengan setelan blus biru muda dan jeans sedang memperhatikan mereka sambil duduk di bangku kayu yang disana-sini terlihat mulai rapuh dan terkelupas catnya. Sesekali dia melihat jam tangannya memastikan waktu. Sudah hampir pukul lima sore. Sepertinya ia  sedang menunggu seseorang. Kembali dicuri perhatiaannya oleh anak-anak yang sedang bermain kasti di tanah kosong tak jauh di depannya.
“Sudah lama ya, kita tidak bersenang-senang seperti itu,” seorang pemuda dengan pakaian rapi berjalan menghampiri gadis itu. Saking asyiknya memperhatikan anak-anak yang bermain kasti di depannya, gadis itu tak sadar kehadiran pemuda itu.
Gadis itu menoleh sebentar lalu kembali memperhatikan anak-anak itu. Ia tersenyum. Setengah rindu setengah luka.
“Maaf, aku telat,” pemuda itu memilih duduk di samping gadis itu kemudian ikut menikmati kenangan mereka.
“Kamu tidak berubah, ya.” Gadis itu masih tersenyum kemudian bangkit dari duduknya dan bertanya, “Jadi, kita mau kemana hari ini?”
“Kamu parkir mobil dimana?” tanya pemuda itu tak mengacuhkan pertanyaan gadis di depannya.
“Di bagian sana,” gadis itu menunjuk mobil yang diparkir tidak jauh dari mereka.
Pemuda itu tersenyum lalu berkata, “Biru selalu cocok denganmu.”
Gadis itu tersenyum kembali lalu menerka, “Kalau mobil merah yang itu pasti punya kamu, kan?”
“Hahaha… Kali ini kamu salah. Itu bukan mobilku. Mobilku aku titipkan di rumah kenalanku dekat sini. Kita akan istirahat malam ini di sana.”
“Eh, Maksudmu kita nggak berangkat hari ini?” gadis itu terdengar kaget.
“Ya, nggak la. Sudah sangat sore. Nggak mungkin kita berangkat ke sana hari ini. Besok pagi-pagi sekali baru kita berangkat. Karena tempatnya cukup jauh. Gimana? Nggak masalah, kan?”
“Iya, nggak papa, sih. Aku juga sudah minta cuti dari kantor.”
“Bagus, deh kalau begitu. Yuk, kita kesana sekarang! Nggak jauh, kok,” pemuda itu berbalik dan berjalan menuju mobil sang gadis.
“Adit…,” gadis itu memanggil pelan dan terdengar sedikit ragu.
“Ya, kenapa, Na?”
“Sebenarnya kita mau kemana, besok?” pertanyaan yang dipendam gadis itu sejak sahabat SMA nya itu menelepon satu bulan yang lalu untuk mengajaknya bertemu kembali di kampung halaman mereka setelah sembilan tahun lamanya.
Pemuda itu tersenyum penuh arti kemudian menjawab, “Sudah lama aku ingin menghubungimu dan mengajakmu kembali ke sini. Tapi, menurutku ini saat yang paling tepat. Aku ingin memperlihatkanmu cermin langit.”
Deg. Dada gadis itu bergemuruh. Pantas saja Adit memintanya datang saat ini. Waktunya benar-benar sesuai. Sesuatu yang telah lama ingin ia lupakan tapi tak cukup untuk menghapusnya secepat itu. Bahkan, dalam waktu sembilan tahun ingatan itu masih sangat kuat. Namun, pemuda di depannya saat ini ingin kembali memanggil suara dari masa lalu itu.
Anak-anak yang bermain kasti sepertinya memutuskan untuk mengakhir pertandingan dan kembali ke rumah mereka masing-masing. Gadis itu mengikuti sahabatnya berjalan di belakang. Mereka hanya diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Erina, udahan yuk! Udah sore. Kita pulang aja, ya. Aku capek, nih.”
“Satu pukulan lagi deh, dit. Aku masih belum puas. Masa lemparan kamu nggak bisa kupukul bagus. Aku penasaran.”
“Hmm, iya deh. Tapi, ntar aku boleh nyontek PR mtk punya kamu, ya.”
“Dasar! Udah mau ujian nasional masih aja nggak berubah. Ya, udah nggak papa kalo cuma sekali-sekali.”
 “Yes! Hehe. Makasih. Oke. Siap-siap, ya.”

Bersambung

Your Reply