Cermin Langit (Bag 2)


.

14 Oktober 2011
Malam ini Erina melepas penat di warung makan di depan kantornya. Biasanya ia akan lebih memilih langsung pulang saja ke rumahnya. Namun, kali ini tidak ia lakukan sekedar membeli air mineral dan duduk lama di warung kecil itu. Sudah setengah jam ia sibuk dengan pikirannya sendiri. Masih ada ragu menyelinap dengan keputusan yang ia ambil. Tiba-tiba ponselna berbunyi. Melihat nama yang tertara pada layar ponselnya membuat Erina menghela nafas.
“Ada apa, Ma?”
“Erina? Kamu lagi dimana? Udah pulang kerja?”  
“Udah, Ma. Sekarang lg mampir sebentar. Erina akan segera berangkat ke Bandung, kok.”
“Apa kamu gpp pergi malam-malam gini sendirian? Kamu juga baru pulang kerja, ntar kamu g konsen nyetir. Apa perlu mama minta Tyo nganterin kamu?” suara wanita yang hampir memasuki usia 60 tahun itu terdengar cemas.
“Mama g perlu khawatir dan g perlu ngerepotin mas Tyo buat nganterin Erina. Cuma tiga jam-an kok, ma. Kalo Erina udah nyampe Bandung, Erina bakal telepon mama. Oke, ma?” Erina menenangkan ibunya yang cemas dengan kepergiannya ke Bandung sendirian. Sebenarnya bukan hal itu yang dicemaskan ibunya. Ada hal lain yang walaupun tidak dikatakan oleh ibunya, ia sangat tahu alasan mengapa ibunya cemas.
“Jadi, kamu akan baik-baik saja?” suara ibunya terdengar mulai mengerti bahwa anaknya sudah dewasa.
“Iya, Ma. Erina yakin Erina akan baik-baik aja,” seulas senyum yang tidak mungkin akan dilihat oleh ibunya tersungging dari bibir gadis itu seperti meyakinkan dirinya sendiri, “kalo gitu Erina berangkat dulu ya, ma. Mama juga tidur aja. Mama g usah terlalu banyak pikiran. Dah, mama!”
Walaupun bisa meyakinkan ibunya bahwa ia akan baik-baik saja, ia bahkan belum yakin bahwa keputusannya akan kembali ke Bandung hari ini kalau saja ia tidak menerima surat dari Adit. Erina mengeluarkan amplop biru langit dari tasnya dan melihat kembali isinya. Pemuda itu bahkan masih mengingat warna kesukaannya. Adit ingin bertemu kembali dengannya, di kampung halaman mereka. Sudah sangat lama, tapi mengapa baru sekarang Adit menghubunginya. Pikiran itu yang selalu mengusiknya. Dibacanya ulang surat dari pemuda itu dan akhirnya ia menemukan keyakinan bahwa apa yang ia putuskan sudah benar.
Erina kembali ke mobilnya dan meluncur menuju Bandung. Untuk satu hari ia akan menginap di Bandung dan esok harinya ia akan berangkat ke kampung halamannya. Bagaimana pun ia sama sekali tidak boleh menghindari pertemuan ini. Setidaknya, ada yang ingin ia pastikan. Apakah telah hilang atau masih ada di sana. Walau mungkin akan ada luka yang kembali muncul, rasa rindu itu mau tidak mau harus ia akui kian menyesak.

Your Reply