Kamu bilang kita tidaklah sama, namun juga tidak perlu dibeda-bedakan. Rancu. Itu
yang aku tangkap dari kata-katamu. Kamu tak pernah menjelaskan hal itu. Seakan
memaksaku berpikir untuk menemukan jawaban itu sendiri. Hanya senyum yang kamu
berikan setiap kali aku menanyakan hal itu. Senyum
yang kadang membuat aku muak. Aku tak pernah melihat luka disana. Tepatnya aku tidak pernah
bisa melihat ada luka di setiap senyuman itu. Karena aku selalu merasa akulah
yang terluka. Tapi, aku salah.
Kamu tahu, Awan? Mungkin seharusnya kita tidak pernah bertemu,
tidak pernah bersama, atau bahkan sebaiknya tidak pernah lahir. Agar
sakit itu tidak akan sebesar sekarang. Jujur aku sangat membencimu, namun aku
juga sayang padamu. Sangat kontradiktif. Sejak kecil kamu selalu dielu-elukan
karena kepintaranmu. Tentu saja tidak ada yang akan membenci seseorang dengan
wajah tampan yang mudah bergaul dan baik pada semua orang. Kecuali aku, aku
benci sekali padamu. Kamu juga tahu itu. Tapi, senyum itu tak pernah hilang
dari wajahmu setiap kita bertemu. Kamu sebenarnya terbuat dari apa?
Seiring berjalannya waktu semuanya berubah. Sering bertemu
kemudian berubah menjadi sesekali bertemu. Pikiranku merasa lega, namun hatiku
seperti kehilangan sesuatu. Tidak ada lagi orang yang setiap hari menasehatiku
supaya tidak telat makan agar penyakit maag-ku tidak kambuh. Dulu aku selalu bingung
sejak kapan kehadiranmu menjadi begitu penting bagiku. Sekarang aku sudah
menemukan jawabannya. Kamu selalu penting bagiku. Sejak kita bertemu, sejak
kita bersama, sejak kita lahir.
Dulu, aku menyesal menjadi saudara kembar laki-laki sepertimu
dan mengapa aku harus hidup di panti asuhan sejak orang tua kita meninggal? Mengapa
mereka yang datang ke panti lebih memilih mengadopsi kamu daripada aku? Mereka lebih
memilih punya anak laki-laki daripada perempuan. Selain itu karena kakiku
lumpuh, aku tidak pernah berharap akan ada keluarga yang mau mengadopsiku. Kamu
selalu menasehatiku untuk bersikap manis kepada calon orang tua yang datang supaya
mereka mau mengadopsi kita. Namun, nyatanya kenapa hanya kamu yang mereka
adopsi, bukan kita? Aku marah sejak saat itu dan mulai membencimu. Padahal
kenyataannya aku ingin selalu bersamamu dan mereka memisahkan kita.
Kamu hanya datang
sesekali, sibuk dengan semua urusanmu. Lagi-lagi aku mengeluh. Tahun demi tahun
berganti. Terakhir kali menemuiku, yang selalu hanya bisa mengandalkan kursi
roda, bersama asisten sekaligus supirmu. Dengan wajah bahagia menyampaikan
berita bahwa kamu baru saja menyelasaikan kuliah kedokteranmu. Setelah
pengabdian selama satu tahun, kamu berjanji akan menjemputku. Aku tidak tahu
kalau semua itu bohong belaka. Kamu tidak pernah kembali lagi. Kamu bilang
tidak akan pernah berbohohong dan tidak akan pernah mengkhianatiku. Namun,
sekarang kamu sudah pergi sebelum aku bisa mengatakan terima kasih dan maaf.
Aku teringat dengan kata-katamu sebelum kamu pergi dari panti
meninggalkan aku untuk diadopsi oleh keluarga kaya itu, “ Langit, kamu tahu
kenapa Ayah dan Ibu member kita nama Awan dan Langit? Ayah bilang karena Awan
dan Langit tidak akan pernah terpisahkan. Awan akan selalu ada untuk menemani Langit,
siang ataupun malam. Seperti aku yang akan selalu menjaga kamu sampai kapan
pun. Aku sudah memohon agar orang tua baruku untuk mengadopsi kamu juga, tapi
keputusan sepenuhnya ada di tangan mereka. Tangan kecil ini tidak mampu
melakukan apa pun, Karena itu tolong tunggu aku. Suatu hari aku akan menjadi
orang yang bisa berdiri di atas kakiku sendiri, dan aku akan membawa kamu pergi
dari sini. Tolong percayalah padaku.”
Seakan meyakinkan apa yang kamu katakan delapan tahun lalu itu,
pada pertemuan terakhir kita kamu bilang, “Jika Ayah bilang Awan akan selalu
menemani Langit, Ibu punya pendapat yang berbeda. Ibu bilang, walaupun Awan dan
Langit selalu bersama, jika suatu saat Awan menghilang, Langit tidak akan
runtuh. Bukankah Langit akan menjadi lebih cerah, lebih cemerlang. Kamu itu
lebih kuat daripada aku, Langit. Ada atau tidaknya aku, kamu akan selalu bisa
bertahan. Untuk itu, sekali lagi aku katakan, tunggulah aku sebentar lagi.”
Aku berjanji akan mejadi wanita yang lebih kuat. Dan saat kita
bertemu nanti, dan mungkin juga ada Ayah dan Ibu disana, aku akan punya banyak cerita yang bisa
membuatmu bangga. Aku sudah lelah menunggu. Sekarang giliranmu, Awan. Tolong
tunggu aku di sana. Suatu saat, kita akan bertemu lagi.