Bacalah, maka...


.


Kamu bilang kita tidaklah sama, namun juga tidak perlu dibeda-bedakan. Rancu. Itu yang aku tangkap dari kata-katamu. Kamu tak pernah menjelaskan hal itu. Seakan memaksaku berpikir untuk menemukan jawaban itu sendiri. Hanya senyum yang kamu berikan setiap kali aku menanyakan hal itu. Senyum yang kadang membuat aku muak. Aku tak pernah melihat luka disana. Tepatnya aku tidak pernah bisa melihat ada luka di setiap senyuman itu. Karena aku selalu merasa akulah yang terluka. Tapi, aku salah.

Kamu tahu, Awan? Mungkin seharusnya kita tidak pernah bertemu, tidak pernah bersama, atau bahkan sebaiknya tidak pernah lahir. Agar sakit itu tidak akan sebesar sekarang. Jujur aku sangat membencimu, namun aku juga sayang padamu. Sangat kontradiktif. Sejak kecil kamu selalu dielu-elukan karena kepintaranmu. Tentu saja tidak ada yang akan membenci seseorang dengan wajah tampan yang mudah bergaul dan baik pada semua orang. Kecuali aku, aku benci sekali padamu. Kamu juga tahu itu. Tapi, senyum itu tak pernah hilang dari wajahmu setiap kita bertemu. Kamu sebenarnya terbuat dari apa?

Seiring berjalannya waktu semuanya berubah. Sering bertemu kemudian berubah menjadi sesekali bertemu. Pikiranku merasa lega, namun hatiku seperti kehilangan sesuatu. Tidak ada lagi orang yang setiap hari menasehatiku supaya tidak telat makan agar penyakit maag-ku tidak kambuh. Dulu aku selalu bingung sejak kapan kehadiranmu menjadi begitu penting bagiku. Sekarang aku sudah menemukan jawabannya. Kamu selalu penting bagiku. Sejak kita bertemu, sejak kita bersama, sejak kita lahir.
Dulu, aku menyesal menjadi saudara kembar laki-laki sepertimu dan mengapa aku harus hidup di panti asuhan sejak orang tua kita meninggal? Mengapa mereka yang datang ke panti lebih memilih mengadopsi kamu daripada aku? Mereka lebih memilih punya anak laki-laki daripada perempuan. Selain itu karena kakiku lumpuh, aku tidak pernah berharap akan ada keluarga yang mau mengadopsiku. Kamu selalu menasehatiku untuk bersikap manis kepada calon orang tua yang datang supaya mereka mau mengadopsi kita. Namun, nyatanya kenapa hanya kamu yang mereka adopsi, bukan kita? Aku marah sejak saat itu dan mulai membencimu. Padahal kenyataannya aku ingin selalu bersamamu dan mereka memisahkan kita.
 Kamu hanya datang sesekali, sibuk dengan semua urusanmu. Lagi-lagi aku mengeluh. Tahun demi tahun berganti. Terakhir kali menemuiku, yang selalu hanya bisa mengandalkan kursi roda, bersama asisten sekaligus supirmu. Dengan wajah bahagia menyampaikan berita bahwa kamu baru saja menyelasaikan kuliah kedokteranmu. Setelah pengabdian selama satu tahun, kamu berjanji akan menjemputku. Aku tidak tahu kalau semua itu bohong belaka. Kamu tidak pernah kembali lagi. Kamu bilang tidak akan pernah berbohohong dan tidak akan pernah mengkhianatiku. Namun, sekarang kamu sudah pergi sebelum aku bisa mengatakan terima kasih dan maaf.
Aku teringat dengan kata-katamu sebelum kamu pergi dari panti meninggalkan aku untuk diadopsi oleh keluarga kaya itu, “ Langit, kamu tahu kenapa Ayah dan Ibu member kita nama Awan dan Langit? Ayah bilang karena Awan dan Langit tidak akan pernah terpisahkan. Awan akan selalu ada untuk menemani Langit, siang ataupun malam. Seperti aku yang akan selalu menjaga kamu sampai kapan pun. Aku sudah memohon agar orang tua baruku untuk mengadopsi kamu juga, tapi keputusan sepenuhnya ada di tangan mereka. Tangan kecil ini tidak mampu melakukan apa pun, Karena itu tolong tunggu aku. Suatu hari aku akan menjadi orang yang bisa berdiri di atas kakiku sendiri, dan aku akan membawa kamu pergi dari sini. Tolong percayalah padaku.”
Seakan meyakinkan apa yang kamu katakan delapan tahun lalu itu, pada pertemuan terakhir kita kamu bilang, “Jika Ayah bilang Awan akan selalu menemani Langit, Ibu punya pendapat yang berbeda. Ibu bilang, walaupun Awan dan Langit selalu bersama, jika suatu saat Awan menghilang, Langit tidak akan runtuh. Bukankah Langit akan menjadi lebih cerah, lebih cemerlang. Kamu itu lebih kuat daripada aku, Langit. Ada atau tidaknya aku, kamu akan selalu bisa bertahan. Untuk itu, sekali lagi aku katakan, tunggulah aku sebentar lagi.”
Aku berjanji akan mejadi wanita yang lebih kuat. Dan saat kita bertemu nanti, dan mungkin juga ada Ayah dan Ibu disana,  aku akan punya banyak cerita yang bisa membuatmu bangga. Aku sudah lelah menunggu. Sekarang giliranmu, Awan. Tolong tunggu aku di sana. Suatu saat, kita akan bertemu lagi.

Your Reply